Langsung ke konten utama

Postingan

SELAMAT DATANG CAHAYA

 SELAMAT DATANG CAHAYA Selamat datang, wahai jiwa-jiwa Pencari, Telah tiba langkah kakimu di Madrasah yang membuka asa. Tahun ajaran baru terbentang bagai lautan hikmah, setiap langkahmu adalah jejak menuju cahaya. Tinggalkan lelah masa lalu di balik gerbang, buka lembaran suci dengan niat yang terang. Ilmu baru menantimu dalam baris ayat dan kata,  akhlak mulia menuntunmu di setiap langkah nyata. Jangan engkau gentar menghadapi tantangan baru, karena peluhmu hari ini adalah mahkota esok hari Jangan malu belajar dari salah dan lupa, karena setiap kesalahan adalah guru utama. Madrasah bukan sekadar bangunan berdinding, ia adalah taman ilmu, ladang akhlak yang subur, di sanalah kau menabur mimpi-mimpi luhur, dan memanen iman yang mengakar subur. Bangkitlah, pelajar Madrasah… Hadapi tahun Ajaran baru dengan semangat membara, gapailah ilmu,  Dan perindah dirimu dengan adab mulia, dan  karena engkau adalah penerus cahaya umat dan bangsa.  @ Ma'ruf Abu Said Husein, Si...

DENDA DUA PULUH LIMA JUTA UNTUK KYAI DESA

DENDA DUA PULUH LIMA JUTA UNTUK KYAI DESA Di sudut surau tua, Al-Qur’an bersaksi, tentang jejak langkah seorang Kyai desa, yang mengajar bukan demi pujian, tapi demi jiwa-jiwa untuk tumbuhnya iman di dada  generasi Bangsa Namun, di jalan ramai, terdengar kabar muram, tentang tangan wali santri yang mengibaskan sombongnya, menghitung pengabdian dengan koin murahan, seolah jasa bisa ditakar dalam timbangan denda. Tak tahu terimakasih, itulah wajah zaman, di mana kesabaran guru dibalas dengan tuntutan, di mana lelah seorang guru, kyai kampung, dijawab tudingan menyayat rasa, dan setiap doa yang ia lantunkan, disambut cemoohan tanpa rasa.  Kyai tak menangis… karena air matanya telah lama tumpah, Menetes deras, saat ia sujudkan dahi di malam sunyi, demi anak-anak yang tak tahu budi, Dan, saat dini hari tiba, ia memohon agar ilmu tetap hidup di sanubari para siswa Bukan Kyai yang merugi, tapi generasi yang kehilangan adab dalam tradisi, orangtua yang mewariskan kesombongan, anak-ana...

IBRAH SEPOTONG DUKA

 IBRAH SEPOTONG DUKA Di sudut sepi ia terdiam, mendekap lara bagai  sahabat lama, Dekapan tanpa air mata,  tanpa keluh kesah, hanya senyum tipis, dan  bahagia yang pura-pura. Dengan senyuman ia menutup luka yang menganga, dalam gemuruh dunia yang tak peduli, Ia berdamai dengan perih, dan sepi. Baginya duka bukan musuh, ia adalah guru dalam diam, mengajarkan betapa kuatnya jiwa,  saat senyum dan tawa selalu setia,  Walau hati remuk yang tersisa. Ia percaya Kadang luka tak perlu disembuhkan paksa,  Sebab ada ibrah tersembunyi dibalik luka, di balik kepalsuan tawa,  ada jiwa yang pelan-pelan menjadi lebih dewasa. @ Ma'ruf Abu Said Husein,  Simo, 19 Juli 2025

MENGUSIR CEMAS MENUNGGU ASA

MENGUSIR CEMAS MENUNGGU ASA   Di persimpangan waktu yang bergetar, ku sulam harap dalam gelombang kecemasan yang memanjang, detik berdentang seperti genderang, mengabarkan kabar yang belum jelas kepastiannya. Hari ini, esok, atau entah kapan waktunya tiba. Langit kadang tampak redup, kadang terlihat  cerah, hatiku pun ikut bersalin rupa. Namun aku tahu, gelisah tak menambah hasil, resah tak mengubah takdir yang telah ditulis. Maka, ku peluk sabar di dada yang sempit, kugenggam doa serapat mungkin, sebab aku percaya, hasil tak akan membohongi usaha. Biarlah pengumuman datang seperti hujan, Turun membasahi lelah, menyejukkan asa. Jika kabar baik, kuterima dengan syukur; jika sebaliknya, aku tak mengharapkannya. Di antara resah dan harap yang berkelindan, kutenangkan jiwa dengan percaya— bahwa yang terbaik, selalu punya waktu untuk tiba, dan segala penantian, tak pernah sia-sia. @ Ma'ruf Abu Said Husein, Simo 14 Juli 2025. 

DIA YANG TERBUANG

 DIA YANG TERBUANG Di pelataran sejarah yang berdebu, ada nama yang dahulu bersinar, kini retak, ditikam waktu, dibuang dari ingatan yang ingkar. Langkahnya pernah mengguncang malam, menggenggam nyawa demi terang, namun kini ia jadi bayang, disebut hanya untuk disangkal orang. Jasanya dikuburkan dalam sunyi, di bawah nisan tanpa doa, yang datang justru pengkhianat janji, mengoyak warisan dengan kata nista. Di langit yang muram, nyanyian fitnah terus bergema, seolah kebenaran harus karam dalam lautan lidah berdosa. Bertopeng kesalehan yang dipalsukan Tangan yang pernah menggenggam bara, kini dipenjara dalam prasangka, tak ada tapak yang tersisa, hanya luka di dada dalam sejarah bangsa. Wahai waktu, yang adil menanti, bukalah lembar yang dikunci, agar yang terbuang, tetap berdiri, Diantara puing-puing reruntuhan dan fitnah luluh dalam sunyi. @ Ma'ruf Abu Said Husein, Simo, 8 Juli 2025

Elegi Luka dan Cahaya Hikmah

 Elegi Luka dan Cahaya Hikmah  Di relung jiwa yang paling senyap, Ketika badai merobek senja, Luka menganga, membasahi harap, Dan penderitaan menjelma sebagai  sahabat setia. Ia datang bukan tanpa pesan, Meski pedihnya bagai sembilu tajam. Setiap tetes air mata yang berjatuhan, Adalah embun pagi bagi jiwa yang terbenam. Dari goresan mendalam yang tak terhapus, Terukirlah kekuatan yang tak terduga. Mengajar kita tentang sabar yang tulus, Dan arti bangkit dari abu yang tersisa. Luka bukan sekadar sayatan di kulit kita, Ia adalah pintu menuju empati di dada. Membukakan mata pada jiwa yang terhimpit, Mengenalkan kita pada cinta yang tanpa batas. Wahai sayat-sayat luka, Wahai elegi derita,   Engkau guru dalam sunyi, Engkau menempa hati dari rapuhnya ilusi. Mengikis ego, mengupas topeng diri, Menyisakan esensi sejati. Engkau melodi pilu yang menggetarkan dada, Mencipta harmoni jiwa. Mengajarkan kita untuk membuang takut, Dan menatap esok dengan harapan dan kepasrahan....

SUJUD PENGAMPUNAN

 SUJUD PENGAMPUNAN Sujud Jiwa di tengah ramainya jalan kota. Di antara aspal dan gedung menjulang, Jiwa tersesat, mencari terang. Hiruk pikuk kota memecah telinga, Langkah tergesa, hati merana. Klakson meraung, debu berarak, Di sudut bising, aku terdampar. Bukan keriuhan yang kutakuti, Namun gemuruh dosa di sanubari. Dalam sujud sunyi, di tengah riuh, Kupanjatkan pinta, dengan segenap jiwa. Ampuni langkah yang salah arah, Ampuni lisan yang sering berkeluh kesah. Jalanan kota jadi saksi bisu, Betapa rapuhnya aku, hamba-Mu. Pada-Mu jua, kutumpahkan sesal, Di tengah kalut, kutemukan damai. Semoga Kau dengar rintihan ini, Di antara bising dan keramaian kota. Sucikan jiwa, bersihkan hati, Agar langkah tegar, tak lagi goyah. @ Ma'ruf Abu Said Husein, Semarang 6 Juli 2025.

MENGENANG AL- HUSEIN, JEJAK-JEJAK CAHAYA KEADILAN.

 “Mengenang Al-Husein, Jejak-jejak Cahaya Keadilan” Di padang Karbala yang membara, deru takbir bertemu nyala bara, seorang cucu Nabi berdiri tegak, membawa panji cinta yang tak retak. Al-Husein, jiwa yang tak tergadai, meski dunia menjanjikan mahkota dan parade, ia memilih jalan yang sepi dan sunyi, demi nurani, demi harga diri. Tak tunduk pada tirani yang congkak, tak goyah walau maut menatap lekat, darahnya tumpah bukan untuk sia-sia, tapi menyirami ladang jiwa merdeka. Ia ajarkan kita makna keadilan, bukan sekadar hukum dan aturan, tapi keberanian menolak kezaliman, meski harus membayar dengan nyawa dan kehilangan. Tangis Zainab jadi saksi abadi, bahwa luka bukan akhir dari janji, melainkan pelita yang tak pernah padam, menuntun ummat dari gelap ke dalam salam. Mengenang Al-Husein bukan sekadar duka, tapi pembelajaran jiwa yang merdeka: Bahwa keadilan adalah hak setiap insan, dan perjuangan adalah bentuk cinta yang sejati dan dalam. @. Ma'ruf Abu Said Husein, Semarang, 6 Juli 2...

*KEMEWAHAN SUNYI*

 *KEMEWAHAN SUNYI* Di antara gemuruh dunia yang tak henti bersuara, Ada ruang sunyi yang kusebut istana jiwa. Bukan karena kosong, tak terisi apa-apa.   Tapi, karena kebanyakan orang enggan menyentuhnya, Tahukah engkau ?  Sesungguhnya dalam sunyi, gema tanya, bisik doa, dan qalbu justeru lebih menyala. Kesendirian bukanlah derita yang dibuang nasib, Ia anugerah untuk diam,  tempat rindu paling jujur mengalir, Tempat paling indah untuk berfikir. Dalam sunyi aku mendengar kata yang tak terucap, Langkah masa lalu, tangis masa kecil, Juga harapan yang tumbuh perlahan, Seperti embun yang tak ingin segera dijemput pagi. Tak ada kemewahan yang lebih melegakan, Daripada duduk sendiri di teras waktu, Memandang hidup dari kejauhan— Sambil mengenal siapa aku sebenarnya ?  Siapa kita sesungguhnya ?, Hadir tanpa topeng di wajah kita,  tanpa penonton yang hadir menyapa ,  tanpa kebisingan yang sering menyandera jiwa. Kesendirian, adalah jendela tempat jiwaku me...

LIANG LAHAT PERSATUAN UMMAT

 LIANG LAHAT PERSATUAN UMMAT Di atas lembar sejarah yang ternoda, tinta pertikaian ditulis dengan bara. Sunni dan Syiah Dua saudara satu kitab, Dua saudara dalam satu Syahadat, Masih tersandera, dan  terjerat silang narasi yang sulit diobati, Kecuali dalam jiwa-jiwa Pecinta Dalam jiwa-jiwa, yang nurani masih tersisa. Sungguh, bukan karena akidah sejati bertentang, tapi karena lidah-lidah yang berbisa, penabur fitnah dan propaganda  Yang tak berhenti menggali "liang lahat persatuan ummat". Wahai umat Muhammad, tidakkah kalian  menyadari ? Setiap luka yang kalian gores di dada saudara,  Adalah kehendak Zionis, Yang tersenyum di balik layar kelam perpecahan, Yang tertawa saat kalian  mencaci saudara. Dan tak terasa,  kiblatmu tak lagi Ka’bah, tapi dendam, sebagai buah dari berjuta hasutan. Liang lahat ini—bukan lubang mati, melainkan pusara mimpi dan janji-janji suci. Persatuan dikubur tanpa kafan doa, karena kita sibuk menyusun kata saling cela. Mereka t...

KEINDAHAN PANTAI DI TEPIAN SENJA

 KEINDAHAN PANTAI DI TEPIAN SENJA Di ujung hari, mentari perlahan rebah, Menyulam langit dengan benang jingga dan merah. Gemericik ombak bersenandung lembut, Menyapa pasir, membasuh sunyi yang larut. Langit dan laut saling berpelukan, Dalam warna-warna yang Tuhan bentangkan. Burung-burung pulang dalam diam, Angin menyisir rambut alam dengan salam. Pantai bersaksi dalam bisu yang agung, Bahwa segala indah adalah titah yang dikandung. Tiada pelukis dapat menyaingi goresan ini, Ciptaan Tuhan, sempurna tanpa cela dan niscaya abadi. Setiap hembus angin, tiap desir buih, Adalah ayat-ayat yang tak tertulis di lembaran kitab. Tapi hati yang bening dapat membaca, Bahwa Sang Pencipta Maha Kuasa, Maha Bijaksana. Maka kulipat doa di atas pasir lembut, Kusimpan haru di cakrawala yang surut. Karena di senja pantai, aku mengerti sepenuh hati: Keindahan ini bukan kebetulan—ini adalah bukti keagungan Tuhan. @ Ma'ruf Abu Said Husein, Pacitan, 29 Juni 2025

TENTANG HUJAN

 *TENTANG HUJAN* Hujan turun dengan lembut suara, seperti bisikan langit yang membawa berita, tentang kasih Tuhan yang tak pernah alpa, menyapa bumi, menyirami jiwa. Butir-butirnya laksana doa yang jatuh, menghapus debu, membasuh keluh, pada dedaunan, ia menyapa ramah, pada tanah tandus, ia beri anugerah. Tak hanya alam yang bersyukur diam, hati pun luluh dalam sunyi yang dalam, betapa agung kuasa yang mencipta gerimis, dari langit tinggi ke hati yang paling tipis. Setiap tetesnya adalah pesan rahmat, bahwa cinta Tuhan tak pernah tamat, di tengah gelap, di balik awan, ada janji kehidupan yang Tuhan bentangkan. Maka jangan lagi resah oleh mendung, karena hujan adalah bukti yang agung, bahwa di balik sepi dan kesedihan, tersimpan nikmat dalam limpahan hujan. @ Ma'ruf Abu Said Husein, Pacitan, Sabtu 29 Juni 2025. 

MIMBAR PROPAGANDA PERPECAHAN KITA

 *MIMBAR PROPAGANDA PERPECAHAN KITA* Di atas mimbar yang mestinya suci, Lidah-lidah terbakar ambisi, Berjubah ayat, bersorban dalil, Tapi hatinya keruh, tertutup tilil. Mereka yang disebut “ulama”, Namun menabur bara di dada umat, Meruncingkan beda, menyulut cela, Membakar persaudaraan jadi sekam pekat. Tak lagi menjdi penyejuk jiwa, tapi pemantik perpecahan kita, Tak lagi menjadi rahmat, tapi mencetak retak yang terus melebarkan gerak.. Dengan dalih membela kebenaran, Padahal mengais tepuk tangan dan pujian. Tanpa sadar—atau mungkin sadar— Mereka menjadi corong suara koloni, Mengutuk saudara dalam syahadat, seolah musuh yang harus lenyap, Begitu narasi kelabu memenuhi kepala. Propaganda zionis bersampul agama Di mana cinta Rasulmu yang menyatukan ? Di mana hikmah para salaf yang menenangkan ? Kini suara-suara kebencian dijual atas diatas mimbar media sosial, Mengukir luka di hati ummat Islam dunia. Terlebih bagi mereka yang  diatas tanah Gaza. Yang tertindas dan terhalang unt...

SEKUNTUM DO'A DAN PERSAKSIAN JIWA

 SEKUNTUM DO'A DAN  PERSAKSIAN JIWA Waktu Menjelang subuh  tiba,  ketika langit masih berselimut kelam, kutengadahkan tangan dalam sunyi yang dalam. Di antara detak waktu yang beringsut perlahan, kupanjatkan doa, bukan hanya dari bibir — tapi dari keberpihakan. Ya Tuhan, saksikan malam yang belum selesai ini, di mana anak-anak Gaza tertidur di puing-puing mimpi, dan Iran berdiri di antara bara dan badai, membawa lentera kebenaran meski sebagian saudara muslim diam dan berpangku tangan. Aku tahu Engkau Maha Mendengar bisik bumi yang remuk, dan tangis yang tak terekam di layar-layar sunyi. Maka kutitipkan doa ini dalam embun yang pertama turun, jadikan saksi, bahwa aku pernah membela yang tertindas,  Walau hanya dalam do'a, dan dukungan dalam barisan kata-kata.  bukan karena bangsa, bukan karena bendera, tapi karena kebenaran yang Engkau sampaikan di awal segala perkara. Ya Rabb, bila kelak Hari Pembalasan datang, dan timbangan amal dibuka dengan terang, izin...

SUARA NURANI RAKYAT AMERIKA* (Sebuah Refleksi Demonstrasi di Pusat Kota Amerika)

 *SUARA NURANI RAKYAT AMERIKA* (Sebuah Refleksi Demonstrasi di Pusat Kota Amerika) Di jantung kota yang menyala terang, ribuan suara menyatu bagaikan ombak, berarak dari lorong-lorong harapan, menjaga damai dari bara yang hendak membakar. Poster-poster terangkat tinggi ke langit, tertulis: "Jangan serang Iran, kami bukan musuh perdamaian!" Langkah kaki berdentang seperti doa, memecah sunyi gedung-gedung kekuasaan yang tuli. Bendera Iran berkibar  berdampingan dengan tangan rakyat yang menggenggam hati nurani. Di tanah tempat kebebasan konon dilahirkan, justru rakyat bangkit—menantang kebijakan yang membunuh arti. Mereka bukan pembela perang, mereka penjaga kehidupan, yang tahu bahwa rudal tak pernah membawa kedamaian, hanya luka, hanya reruntuhan dan ratapan. Dari New York hingga San Francisco, Gelombang protes dan pekik hak asasi bergema bersatu, menolak mesin perang yang harus darah, dan menyeru: “Bukan atas nama kami, bukan hari ini, bukan selamanya!”. Bahwa kami menolak k...

MEMBONGKAR DUSTA

 MEMBONGKAR DUSTA Di balik layar kaca dan suara gaduh berita, terhampar narasi penuh cela dan prasangka, tentang negeri para penyair dan filsuf tua, Negeri para Mullah,   Pelayan Sang Pencipta. Dan Iran — dijadikan musuh oleh lidah-lidah pendusta. Mereka berkata: "Lihatlah, mereka  ancaman dunia!". "Lihatlah, mereka musuh sejati kita". Padahal mereka sendiri yang menyalakan bara. Dengan tinta fitnah, sejarah pun digores penuh kebencian  seolah yang ada, hanya dendam dan perang. Tapi siapa yang lupa tentang Khayyam dan Hafiz, tentang puisi yang lembut seperti embun pagi ? Siapa yang menutup mata pada suara azan, dan  dan ibu-ibu yang menanak doa dalam diam? Siapa Pembela Palestina,  yang tangisnya tak terdengar bermilyar pasang telinga. Yang dukanya tak terlihat bermilyar pasang mata. Tahukah kita ? bahwa,  Iran bukan sebatas rudal atau embargo, Namun, ia juga bunga yang tumbuh di tengah deru. Mereka adalah Penggenggam risalah Al-Mustafa Yang setia...

RUDAL MERDEKA UNTUK GAZA

 *RUDAL MERDEKA UNTUK GAZA* Langit Timur berdentum keras, rudal-rudal dari tanah Persia menembus malam, menuju tanah kaum koloni tempat para politisi yang telah mengubur nurani. Dan nyawa manusia tak lagi dihargai. Kini mereka ditegur, atau  mungkin di hukum Tuhan. Melalui tangan para Mullah berkebangsaan Iran. Iran, bukan sekadar negara, ia membawa dendam sejarah dan suara dari banyak hati yang remuk di Gaza, dari ibu-ibu yang kehilangan anak, dari pohon zaitun yang ditebang paksa. Serangan itu bukan sekadar senjata, ia adalah seruan: Bahwa darah Palestina bukan barang murah, bahwa setiap luka di Al-Aqsha membangunkan saudara jauh yang tak bisa lagi tinggal diam. Kemerdekaan — bukan sekadar pengibaran bendera, tapi hak berjalan tanpa ketakutan, hak tidur tanpa dentuman, hak berdoa tanpa bayang penjajahan. Ketika rudal dilepas ke langit Israel, yang terbang bukan hanya logam, tapi tekad agar bumi Palestina tak lagi dijarah malam dan siang. Ini bukan akhir, tapi lembar baru sej...

MENGENANG HAJI PERPISAHAN

 *MENGENANG HAJI PERPISAHAN* Di lembah Ghadir, bayang senja menyapa, Langit bersaksi, bumi bergetar hening, Ribuan jiwa berhenti sejenak dari langkahnya, Mendengar sabda terakhir Sang Pembawa Cahaya. Haji Wada’, perjalanan puncak nan suci, Bukan sekadar perpisahan jasad dan waktu, Tapi titian wasiat yang mengguncang hati, Tentang amanah, tentang cinta, dan satu petunjuk yang hakiki. “Wahai manusia,” lirih Nabi memanggil, “Sampaikanlah, bahwa aku telah tinggalkan dua warisan, Al-Qur’an dan Ahlulbait — cahaya yang takkan pudar, Bersama keduanya, kalian takkan sesat selama-lamanya.” Ghadir Khum menjadi saksi langit terbuka, Tangan diangkat, Ali diseru sebagai mawla, Bukan sekadar pujian, tapi ikrar dari langit, Bahwa kepemimpinan bukan warisan dunia, tapi titah Ilahi. Tak ada air mata di hari itu, Hanya gema takbir dan janji yang membumbung, Namun sejarah mencatat dalam sunyi yang panjang, Betapa manusia sering alpa pada pesan yang terang. Kini kita berdiri di antara jejak-jejak itu, ...

PURNAMA DIATAS MADRASAH KITA

 *PURNAMA DI ATAS MADRASAH KITA* (Refleksi Akhirussanah dan Pesan untuk anak-anak Di Madrasah Kita) Di bawah mentari yang tersenyum ramah, kami berdiri, menatap langkah-langkah yang menjauh perlahan. Anak-anak kami, cahaya madrasah, kini waktunya kalian melanjutkan perjalanan. Waktu melukis kalian akan menjadi ribuan kenangan, di sudut kelas, di pojok-pojok halaman, dan  di bait-bait pelajaran. Nak...... Kami telah ajarkan kepadamu bukan hanya ilmu, tapi cinta, adab, dan jalan menuju restu. Hari ini kalian bukan lagi anak-anak kecil, tapi insan muda yang siap menapak takdir. Maka bawalah bekal dari madrasah ini, iman, akhlak, dan cinta ilmu yang tak ada henti. Betapa haru hati ini, dan jiwa pun berkata, “Pergilah, tapi jangan lupakan doa.” Setiap kalian adalah doa yang kami rawat, setiap keberhasilanmu adalah hadiah paling hebat. Langit hari ini terlalu cerah untuk menangis, tapi biarlah mata kami basah dengan tulus yang manis. Karena kalian bukan pergi dari hati kami, hanya b...

MENUNGGU JANJI

   MENUNGGU JANJI Di bawah cahaya rembulan malam Idul Adha, Berpuluh ribu guru swasta non sertifikasi tetap teguh berdiri dengan jasad letih dan doa yang senyap, menyulam harapan dari sisa semangat yang terkadang lenyap Bukan pengorbanan yang mereka sesali, bukan juga waktu yang terus berlari dan berganti  tapi tentang janji-janji yang digantung tinggi, tanpa tali, tanpa tangga, tanpa bunyi. Di antara takbir yang menggema di setiap surau dan masjid kita Mereka tetap menengadah dalam diam, mengingat anak-anak yang mereka bimbing, saat mereka sendiri nyaris remuk redam dalam gersang. Kesejahteraan guru swasta...Itu kata manis yang kerap dijanjikan,  tapi hilang jejaknya di labirin kebijakan. Apakah pengabdian harus terus diuji, dengan sabar yang makin tipis tiap hari? Guru swasta bukan meminta lebih dari semestinya, hanya menanti hak yang dijanjikan tiba. Sebab guru juga manusia, yang punya keluarga, cita, dan belanja. Namun malam ini, Mereka tetap be...