DENDA DUA PULUH LIMA JUTA UNTUK KYAI DESA
Di sudut surau tua, Al-Qur’an bersaksi,
tentang jejak langkah seorang Kyai desa,
yang mengajar bukan demi pujian,
tapi demi jiwa-jiwa untuk tumbuhnya iman di dada generasi Bangsa
Namun, di jalan ramai, terdengar kabar muram,
tentang tangan wali santri yang mengibaskan sombongnya,
menghitung pengabdian dengan koin murahan,
seolah jasa bisa ditakar dalam timbangan denda.
Tak tahu terimakasih, itulah wajah zaman,
di mana kesabaran guru dibalas dengan tuntutan,
di mana lelah seorang guru, kyai kampung, dijawab tudingan menyayat rasa,
dan setiap doa yang ia lantunkan, disambut cemoohan tanpa rasa.
Kyai tak menangis…
karena air matanya telah lama tumpah,
Menetes deras, saat ia sujudkan dahi di malam sunyi, demi anak-anak yang tak tahu budi,
Dan, saat dini hari tiba, ia memohon agar ilmu tetap hidup di sanubari para siswa
Bukan Kyai yang merugi,
tapi generasi yang kehilangan adab dalam tradisi,
orangtua yang mewariskan kesombongan,
anak-anak yang akan tumbuh tanpa arah dan pegangan.
Mereka boleh mendenda guru bagi anak-anaknya,
Jika telah siap keberkahan ilmu tak didapatkannya
Jangan terlambat menyadari,
ketika kelak hidup terasa kering tanpa keberkahan,
dan ilmu berubah jadi beban tanpa cahaya keikhlasan.
Wahai mereka yang tega menuntut guru atau Kyai,
ingatlah, bahwa manusia tanpa rasa syukur di dada,
hanyalah pejalan buta, yang tersesat di lorong dunia yang fana.
Dua puluh lima juta…
bukan sekadar angka di kertas,
tapi luka yang menganga di dada seorang guru ngaji,
yang tiap subuh menyulam sabda suci,
mengajarkan ayat demi ayat tanpa pamrih duniawi.
Madrasah Diniyah—tempat suci itu,
bukan ladang emas, bukan panggung kemewahan,
hanya gubuk ilmu yang menyalakan pelita iman,
namun hari ini, diseret ke pengadilan hawa nafsu belaka.
Siapa yang bisa menghitung keringatnya?
Siapa yang mampu menakar sujudnya?
Menggenggam sabar dalam lapar,
mengusung ikhlas dalam getirnya zaman.
Ketahuilah....
Tentang guru Madrasah Diniyah.
Ia tak pernah menuntut imbalan dalam pengabdian untuk Tuhan,
Namun, hanya ingin anak-anak membaca Alif, Ba, Ta dengan tanpa kesalahan,
hanya ingin lisan mereka tak salah mengeja kalam Tuhan,
hanya ingin akhlak ngasi bangsa tumbuh, walau dirinya kerap tergerus lelah berkepanjangan.
Tapi hari ini…
di negeri yang katanya menjunjung adab,
guru ngaji dipaksa tunduk oleh denda tak berperasaan,
seolah lelahnya tak ada harga,
seolah doanya tak punya makna.
Denda itu bukan hanya angka,
tapi tamparan keras bagi kemanusiaan,
cermin retak bagi generasi yang lupa pada akarnya
dan luka panjang bagi dunia pendidikan kita.
Wahai penuntut denda,
jika nurani kalian belum mati,
lihatlah wajah guru ngaji yang tetap tersenyum,
meski hatinya tersayat,
dan saksikan…
Saat kelak, keberkahan menjauh dari kehidupan,
Dalam kakimu mengayunkan langkah di bumi Tuhan.
@ Ma'ruf Abu Said Husein, Simo, 21 Juli 2025.
Komentar
Posting Komentar
http://docs.google.com/form/d/e/1FlpQLSccIIPZXwEvXGNfeQuue-SSiD5c0_eMs2LkpRjZpz22WpEG2w/viewform