Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Juli, 2025

SELAMAT DATANG CAHAYA

 SELAMAT DATANG CAHAYA Selamat datang, wahai jiwa-jiwa Pencari, Telah tiba langkah kakimu di Madrasah yang membuka asa. Tahun ajaran baru terbentang bagai lautan hikmah, setiap langkahmu adalah jejak menuju cahaya. Tinggalkan lelah masa lalu di balik gerbang, buka lembaran suci dengan niat yang terang. Ilmu baru menantimu dalam baris ayat dan kata,  akhlak mulia menuntunmu di setiap langkah nyata. Jangan engkau gentar menghadapi tantangan baru, karena peluhmu hari ini adalah mahkota esok hari Jangan malu belajar dari salah dan lupa, karena setiap kesalahan adalah guru utama. Madrasah bukan sekadar bangunan berdinding, ia adalah taman ilmu, ladang akhlak yang subur, di sanalah kau menabur mimpi-mimpi luhur, dan memanen iman yang mengakar subur. Bangkitlah, pelajar Madrasah… Hadapi tahun Ajaran baru dengan semangat membara, gapailah ilmu,  Dan perindah dirimu dengan adab mulia, dan  karena engkau adalah penerus cahaya umat dan bangsa.  @ Ma'ruf Abu Said Husein, Si...

DENDA DUA PULUH LIMA JUTA UNTUK KYAI DESA

DENDA DUA PULUH LIMA JUTA UNTUK KYAI DESA Di sudut surau tua, Al-Qur’an bersaksi, tentang jejak langkah seorang Kyai desa, yang mengajar bukan demi pujian, tapi demi jiwa-jiwa untuk tumbuhnya iman di dada  generasi Bangsa Namun, di jalan ramai, terdengar kabar muram, tentang tangan wali santri yang mengibaskan sombongnya, menghitung pengabdian dengan koin murahan, seolah jasa bisa ditakar dalam timbangan denda. Tak tahu terimakasih, itulah wajah zaman, di mana kesabaran guru dibalas dengan tuntutan, di mana lelah seorang guru, kyai kampung, dijawab tudingan menyayat rasa, dan setiap doa yang ia lantunkan, disambut cemoohan tanpa rasa.  Kyai tak menangis… karena air matanya telah lama tumpah, Menetes deras, saat ia sujudkan dahi di malam sunyi, demi anak-anak yang tak tahu budi, Dan, saat dini hari tiba, ia memohon agar ilmu tetap hidup di sanubari para siswa Bukan Kyai yang merugi, tapi generasi yang kehilangan adab dalam tradisi, orangtua yang mewariskan kesombongan, anak-ana...

IBRAH SEPOTONG DUKA

 IBRAH SEPOTONG DUKA Di sudut sepi ia terdiam, mendekap lara bagai  sahabat lama, Dekapan tanpa air mata,  tanpa keluh kesah, hanya senyum tipis, dan  bahagia yang pura-pura. Dengan senyuman ia menutup luka yang menganga, dalam gemuruh dunia yang tak peduli, Ia berdamai dengan perih, dan sepi. Baginya duka bukan musuh, ia adalah guru dalam diam, mengajarkan betapa kuatnya jiwa,  saat senyum dan tawa selalu setia,  Walau hati remuk yang tersisa. Ia percaya Kadang luka tak perlu disembuhkan paksa,  Sebab ada ibrah tersembunyi dibalik luka, di balik kepalsuan tawa,  ada jiwa yang pelan-pelan menjadi lebih dewasa. @ Ma'ruf Abu Said Husein,  Simo, 19 Juli 2025

MENGUSIR CEMAS MENUNGGU ASA

MENGUSIR CEMAS MENUNGGU ASA   Di persimpangan waktu yang bergetar, ku sulam harap dalam gelombang kecemasan yang memanjang, detik berdentang seperti genderang, mengabarkan kabar yang belum jelas kepastiannya. Hari ini, esok, atau entah kapan waktunya tiba. Langit kadang tampak redup, kadang terlihat  cerah, hatiku pun ikut bersalin rupa. Namun aku tahu, gelisah tak menambah hasil, resah tak mengubah takdir yang telah ditulis. Maka, ku peluk sabar di dada yang sempit, kugenggam doa serapat mungkin, sebab aku percaya, hasil tak akan membohongi usaha. Biarlah pengumuman datang seperti hujan, Turun membasahi lelah, menyejukkan asa. Jika kabar baik, kuterima dengan syukur; jika sebaliknya, aku tak mengharapkannya. Di antara resah dan harap yang berkelindan, kutenangkan jiwa dengan percaya— bahwa yang terbaik, selalu punya waktu untuk tiba, dan segala penantian, tak pernah sia-sia. @ Ma'ruf Abu Said Husein, Simo 14 Juli 2025. 

DIA YANG TERBUANG

 DIA YANG TERBUANG Di pelataran sejarah yang berdebu, ada nama yang dahulu bersinar, kini retak, ditikam waktu, dibuang dari ingatan yang ingkar. Langkahnya pernah mengguncang malam, menggenggam nyawa demi terang, namun kini ia jadi bayang, disebut hanya untuk disangkal orang. Jasanya dikuburkan dalam sunyi, di bawah nisan tanpa doa, yang datang justru pengkhianat janji, mengoyak warisan dengan kata nista. Di langit yang muram, nyanyian fitnah terus bergema, seolah kebenaran harus karam dalam lautan lidah berdosa. Bertopeng kesalehan yang dipalsukan Tangan yang pernah menggenggam bara, kini dipenjara dalam prasangka, tak ada tapak yang tersisa, hanya luka di dada dalam sejarah bangsa. Wahai waktu, yang adil menanti, bukalah lembar yang dikunci, agar yang terbuang, tetap berdiri, Diantara puing-puing reruntuhan dan fitnah luluh dalam sunyi. @ Ma'ruf Abu Said Husein, Simo, 8 Juli 2025

Elegi Luka dan Cahaya Hikmah

 Elegi Luka dan Cahaya Hikmah  Di relung jiwa yang paling senyap, Ketika badai merobek senja, Luka menganga, membasahi harap, Dan penderitaan menjelma sebagai  sahabat setia. Ia datang bukan tanpa pesan, Meski pedihnya bagai sembilu tajam. Setiap tetes air mata yang berjatuhan, Adalah embun pagi bagi jiwa yang terbenam. Dari goresan mendalam yang tak terhapus, Terukirlah kekuatan yang tak terduga. Mengajar kita tentang sabar yang tulus, Dan arti bangkit dari abu yang tersisa. Luka bukan sekadar sayatan di kulit kita, Ia adalah pintu menuju empati di dada. Membukakan mata pada jiwa yang terhimpit, Mengenalkan kita pada cinta yang tanpa batas. Wahai sayat-sayat luka, Wahai elegi derita,   Engkau guru dalam sunyi, Engkau menempa hati dari rapuhnya ilusi. Mengikis ego, mengupas topeng diri, Menyisakan esensi sejati. Engkau melodi pilu yang menggetarkan dada, Mencipta harmoni jiwa. Mengajarkan kita untuk membuang takut, Dan menatap esok dengan harapan dan kepasrahan....

SUJUD PENGAMPUNAN

 SUJUD PENGAMPUNAN Sujud Jiwa di tengah ramainya jalan kota. Di antara aspal dan gedung menjulang, Jiwa tersesat, mencari terang. Hiruk pikuk kota memecah telinga, Langkah tergesa, hati merana. Klakson meraung, debu berarak, Di sudut bising, aku terdampar. Bukan keriuhan yang kutakuti, Namun gemuruh dosa di sanubari. Dalam sujud sunyi, di tengah riuh, Kupanjatkan pinta, dengan segenap jiwa. Ampuni langkah yang salah arah, Ampuni lisan yang sering berkeluh kesah. Jalanan kota jadi saksi bisu, Betapa rapuhnya aku, hamba-Mu. Pada-Mu jua, kutumpahkan sesal, Di tengah kalut, kutemukan damai. Semoga Kau dengar rintihan ini, Di antara bising dan keramaian kota. Sucikan jiwa, bersihkan hati, Agar langkah tegar, tak lagi goyah. @ Ma'ruf Abu Said Husein, Semarang 6 Juli 2025.

MENGENANG AL- HUSEIN, JEJAK-JEJAK CAHAYA KEADILAN.

 “Mengenang Al-Husein, Jejak-jejak Cahaya Keadilan” Di padang Karbala yang membara, deru takbir bertemu nyala bara, seorang cucu Nabi berdiri tegak, membawa panji cinta yang tak retak. Al-Husein, jiwa yang tak tergadai, meski dunia menjanjikan mahkota dan parade, ia memilih jalan yang sepi dan sunyi, demi nurani, demi harga diri. Tak tunduk pada tirani yang congkak, tak goyah walau maut menatap lekat, darahnya tumpah bukan untuk sia-sia, tapi menyirami ladang jiwa merdeka. Ia ajarkan kita makna keadilan, bukan sekadar hukum dan aturan, tapi keberanian menolak kezaliman, meski harus membayar dengan nyawa dan kehilangan. Tangis Zainab jadi saksi abadi, bahwa luka bukan akhir dari janji, melainkan pelita yang tak pernah padam, menuntun ummat dari gelap ke dalam salam. Mengenang Al-Husein bukan sekadar duka, tapi pembelajaran jiwa yang merdeka: Bahwa keadilan adalah hak setiap insan, dan perjuangan adalah bentuk cinta yang sejati dan dalam. @. Ma'ruf Abu Said Husein, Semarang, 6 Juli 2...